Pertobatan nasional, maukah?
2007 sudah dimulai dengan serentetan bencana, kapal laut karam diterjang badai menewaskan ratusan orang di laut Jawa, serta jatuhnya dan hilang (sampai saat ini ditulis) pesawat Boeing sewaan Adam Air di Sulawesi. Belum lagi banjir di sejumlah provinsi Sumatra, Jawa dan Kalimantan. Sepertinya bencana tak sudah-sudah mendatangi kita. perayaan tahun baru apalah artinya jika masih banyak yang kehilangan pekerjaan, yang periuk nasinya dilumpuhkan orang, maupun ketidakpastian ekonomi di kalangan masyarakat luas.
Sudah saatnya Presiden SBY mengajak rakyat Indonesia untuk bertobat nasional. Salah apa yang diperbuat para pemimpin dan para wakil rakyat maupun segenap lapisan harapan publik hingga kemajuan di abad ke-21 ini belum juga diraih-raih?
Apa salah kita dengan Sang Khalik? Sadarkah kita bencana bisa diakibatkan karena kelalaian langsung maupun tak langsung yang kita perbuat? Ketika tak banyak lagi yang membela kebenaran dan ketika arus penyimpangan dan apatisme mentsunamikan gerak langkah bangsa ini, apatah yang bisa diharap kini?
Bertobatlah, karena kita hanya makhluk kecil yang dhaif dan
dzalim. Bukan lah superhero dan superman yang selalu kuat dan benar. Saatnya
pertobatan nasional dimulai. Jika semua tidak ingin terlambat. Now or never.
5 Januari 2007
Banjir Kenapa (1)
Alkisah Kota 13 Sungai. Air menguning di hampir semua pelosok. Semua terjebak air bah, tak bisa kemana, tak bisa menyalakan apa, tak bisa mengapa-mengapa. Kaya miskin tak berdaya. Kota lumpuh dan terlumpuhkan…
Sungguh menyedihkan melihat besarnya kerugian yang diderita masyarakat akibat banjir, terutama di Jakarta baru-baru ini. Rp 4,1 triliun terbuang dalam jangka sepekan, Masya Allah!! Dalam keadaan hidup yang sulit ini, bertambah lagi bencana yang harus dialami sebagian besar warga yang perekonomiannya terbilang susah.
Imbas banjir juga dirasa oleh mereka yang tidak terkena banjir. Sebuah kota metropolitan yang jadi barometer negeri, dimana orang-orang hebat berkumpul, tak berdaya diserang banjir. Jakarta lumpuh, negeri pun merasakan dampaknya, sedikit banyaknya.
Lantas, banjir kenapa? Memang kompleks penyebabnya, tapi jelas sebenarnya. Banjir memang alami, tapi apa tidak bisa diminimalkan dampaknya? Tak apa mencari salah, salahkan manusia. Manusia yang menentukan kebijakan, manusia yang melanggar aturan, manusia yang tidak bersahabat dengan alam, ataupun manusia yang jorok, tidak memelihara alamnya.
DKI Jakarta bersalah karena tidak menganggap persoalan banjir sebagai masalah urgen. Sutiyoso tidak juga memberikan peringatan dini kepada warga, seakan menganggap remeh, ini rutinitas yang dialami sebagian warga. Kenyataannya? Pemerintah di daerah hulu sungai juga punya tanggungjawab karena membiarkan alam di wilayahnya dijadikan vila-vila dan bangunan yang mengurangi daya resapan air.
Siapa yang memberikan izin bangunan? Lalu, siapa juga yang
suka melanggar aturan dengan membuat bangunan di atas wilayah yang seharusnya
jadi resapan air itu? Mereka yang mengaku berpendidikan tinggi, punya jabatan
dan bisnis bagus, tapi nurani lingkungannya jeblok. Yang hanya mendahulukan
kepentingan sendiri tapi lalai urusan orang banyak. Dan, kau lihatlah
akibatnya.
Belum lagi, para pejabat negeri ini yang suka menutup mata dengan berbagai pelanggaran aturan yang mereka buat dan restui sendiri. Negeri yang tidak disiplin dan mencintai alam lingkungan, akhirnya menuai bencana.
Bogor dan sekitarnya dianggap bersalah, tapi yang punya wilayah banjir juga harus bertanggungjawab. Kenapa Banjir Kanal belum juga selesai dibuat sejak puluhan tahun direncanakan? Kenapa warganya masih mempersoalkan rendahnya ganti rugi, apa karena lebih suka menderita banjir daripada sedikit mengantongi uang?
Lalu, Ali Sadikin mengritik pemerintah pusat karena tidak membantu pemda Jakarta menuntaskan masalah banjir. Pemerintah pusat tidak menggunakan kekuasaannya untuk mewujudkan langkah solusi bencana air itu.
Nah, saatnya untuk menyadari kesalahan dan cepat berbenah. Bogor dan Bopunjur dibenahi lagi, hancurkan saja bangunan yang merusak lingkungan itu. DKI Jakarta harus prioritaskan bangun Banjir Kanal, pemerintah SBY harus tegas juga membantu dan mengawasi hal ini, karena pemerintahannya bertempat di ibukota.
Kalau memang bukan tanggungjawab DKI semata, carilah siapa yang mesti juga bertanggungjawab. Jangan cuma mengunjungi warga korban banjir, tapi tidak ada solusi dan langkah tegas. Anda adalah seorang presiden, harus kuat dan tegas!!
Lupakan pencitraan dan tebar pesona itu, basi lagi… Warga Jakarta pun, juga para pebisnis dan aparat pemda DKI, harus menaati aturan bangunan yang memberikan alokasi bagi resapan air. Jangan semua tanah ditembok dan diaspal tanpa ada tanah resapan yang bisa menyimpan air hujan. Kenapa peraturan tidak dijalankan?
Kalau Jakarta masih banjir parah seperti ini, nah, sudah
selayaknya kita pikirkan untuk memindahkan ibukota ke daerah yang lebih aman
dari banjir dan tidak macet parah seperti saat ini. Ke Sumatra pun juga tak
apa. Ha ha ha…
7 Februari 2007
Banjir Kenapa (2)
Bukan Jakarta saja yang banjir sejak musim hujan bergulir
beberapa bulan lalu. Hampir semua daerah mendapat banjir maupun longsor, dengan
intensitas yang berbeda. Cuma satu yang perlu dikritisi, apakah kita sudah maksimal
melindungi hutan dan wilayah di sekitar sungai??
Saya tak usah berpanjang-panjang dalam hal ini. Selagi hutan-hutan dibabat habis, banjir akan selalu datang dengan tingkat keparahan yang tinggi. Kasihannya, yang merasakan dampaknya tentu masyarakat kecil di sekitar sungai. Sedangkan para cukong, pejabat korup, aparat korup biasanya lolos dari hantaman banjir dan longsor.
Secara singkat, banjir kenapa di seluruh Indonesia, karena hutan-hutan ditebangi, lingkungan dirusak, daya dukung alam dihancurkan. Siapa yang merusak? Siapa saja. Orang pemerintah, orang swasta, orang tentara, orang polisi, orang LSM, orang media, orang asing, dan orang umum, semua punya tanggungjawab atas kehancuran alam ini, sedikit atau banyak.
Tanya banjir? Tanya pada rumput yang bergoyang…
7 Februari 2007
kepada para untouchables
di negeri ini masih banyak yang memiliki impunitas yang
immune dari segala aturan. mereka korupsi tapi tak dideteksi. mereka maling
tapi banyak orang pangling. ada juga yang cuma mikirin jabatan nanti, kekuasaan
nanti, lalu lupa dengan tugas sekarang. formalitas dan pencitraan dianggap
keberhasilan. padahal jutaan mulut nganga, gelap yang tampak adanya. anakanak
muda itu gagap mencari pegangan hidup, betapa dunia seperti di neraka tanpa ada
kerja dan kehormatan diri. lalu orang-orang itu berteriak di media entah untuk
siapa, entah untuk apa. orang-orang menulis entah apa gunanya, menyiarkan
siaran entah ada gunanya. selain itu-itu saja, selain begitu-begitu saja.
jutaan bayi tercampak, entah siapa yang bersalah. jutaan orang kecewa, entah
kenapa itu bisa. kenapa juga mesti pesimisme dipersalahkan kalau untuk suarakan
peringatan. kepedulian. optimisme tanpa reformasi, hasilnya basi. positif tapi
masih dikungkung negativisme, sama saja bohong. suara keras terkadang itu perlu.
karena banyak telinga tak sudi mendengar, banyak muka merasa selalu benar. dan
business as usual, as soeharto rules, ketika kekayaan negeri ini dirampok oleh
banyak perampok. maling dalam dan luar negeri. tapi tak terdeteksi hingga kini.
kepada para untouchables, semogaa…[harap maklum]
24 Oktober 2007